Perjanjian Perdamaian AS–Armenia–Azerbaijan: Titik Balik Konflik Kaukasus Selatan
Latar Belakang Konflik
Armenia dan Azerbaijan berakar dari perebutan wilayah Nagorno-Karabakh, sebuah daerah pegunungan di Kaukasus Selatan yang dihuni mayoritas etnis Armenia, namun diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan. Sejak akhir 1980-an, ketika Uni Soviet mulai runtuh, wilayah ini menjadi titik panas perselisihan etnis dan politik. Perang besar pertama meletus pada awal 1990-an, menewaskan puluhan ribu orang dan menyebabkan lebih dari satu juta warga mengungsi.
Meskipun gencatan senjata dicapai pada tahun 1994, konflik tidak pernah benar-benar berakhir. Nagorno-Karabakh memproklamasikan pemerintahan sendiri dengan dukungan Armenia, sedangkan Azerbaijan menegaskan kedaulatannya atas wilayah tersebut. Ketegangan yang berlangsung puluhan tahun ini telah menjadi simbol dari persaingan politik, sejarah, dan identitas antara kedua negara.

Krisis Terbaru Menjelang Perjanjian
Memasuki tahun 2025, situasi kembali memanas. Azerbaijan melakukan operasi militer untuk memperkuat kendali atas wilayah sengketa. Banyak warga Armenia Nagorno-Karabakh yang mengungsi, sementara Armenia menuduh Azerbaijan melanggar kesepakatan gencatan senjata.
Meningkatnya ketegangan di perbatasan, blokade bantuan kemanusiaan, serta hancurnya infrastruktur sipil memunculkan keprihatinan dunia internasional. Amerika Serikat, yang selama ini tidak terlalu aktif di kawasan tersebut, mulai memposisikan diri sebagai mediator utama guna mencegah krisis kemanusiaan dan ancaman perang baru di Kaukasus Selatan.
Peran Diplomasi Amerika Serikat
Upaya Negosiasi dan Perundingan di Washington
Pada Agustus 2025, Gedung Putih menjadi tuan rumah pertemuan bersejarah antara Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev dan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan. Dalam pertemuan yang difasilitasi langsung oleh pemerintahan Amerika Serikat, kedua pemimpin menandatangani Kerangka Perdamaian Washington 2025.
Perjanjian ini menandai perubahan besar dalam pendekatan diplomasi global. Setelah bertahun-tahun konflik yang sulit diselesaikan, AS berhasil mengamankan kesepakatan yang mencakup normalisasi hubungan diplomatik, pembukaan jalur perdagangan, dan jaminan keamanan bagi masyarakat sipil di Nagorno-Karabakh.
Isi Pokok Perjanjian
Isi perjanjian tersebut terdiri atas beberapa poin penting.
Pertama, Armenia dan Azerbaijan sepakat untuk saling menghormati integritas wilayah masing-masing. Kedua, jalur perdagangan dan transportasi antara kedua negara akan dibuka kembali, termasuk koridor strategis Zangezur yang menghubungkan Azerbaijan dengan eksklave Nakhchivan.
Ketiga, Amerika Serikat akan menjadi mediator dan pengawas pelaksanaan kesepakatan. Keempat, kedua pihak akan bekerja sama dengan lembaga internasional untuk memastikan keamanan Armenia, pemulihan ekonomi, dan reintegrasi komunitas yang terkena dampak perang.
Langkah ini tidak hanya membuka peluang perdamaian, tetapi juga menandai melemahnya dominasi Rusia di kawasan Kaukasus yang selama ini berperan sebagai penengah utama.
Makna Strategis di Tengah Perebutan Pengaruh Global
Keterlibatan aktif Amerika Serikat di kawasan ini mencerminkan upaya Washington untuk memperluas pengaruhnya di antara dua kekuatan besar lain, yaitu Rusia dan Turki.
Bagi Azerbaijan, perjanjian ini memperkuat posisi geopolitiknya sebagai jembatan energi antara Laut Kaspia dan Eropa. Sedangkan bagi Armenia, langkah ini menjadi jalan keluar dari ketergantungan terhadap Rusia.
Bagi AS sendiri, sukses ini menjadi bukti bahwa diplomasi aktif masih bisa menghasilkan Armenia hasil konkret, di tengah meningkatnya konflik global lain seperti perang di Ukraina dan ketegangan di Timur Tengah.
Tantangan Implementasi dan Risiko Politik
Hambatan Pelaksanaan di Lapangan
Meskipun perjanjian telah ditandatangani, implementasinya bukan perkara mudah. Di kedua negara, kelompok garis keras menolak kompromi. Di Azerbaijan, sebagian pihak menganggap wilayah Karabakh sepenuhnya milik mereka dan menolak segala bentuk otonomi bagi etnis Armenia. Di Armenia, banyak warga yang merasa dikhianati karena kehilangan simbol sejarah mereka.
Selain itu, koridor transportasi dan perbatasan baru memerlukan sistem keamanan yang solid. Setiap insiden kecil, seperti serangan terhadap konvoi atau pelanggaran batas, bisa memicu krisis baru. Pengawasan internasional yang efektif sangat dibutuhkan untuk memastikan kedua pihak mematuhi kesepakatan.
Faktor Eksternal dan Pengaruh Kekuatan Regional
Rusia, Turki, dan Iran memiliki kepentingan langsung dalam stabilitas Kaukasus. Rusia, Armenia yang selama ini menjadi penjaga perdamaian, merasa tersisih oleh peran Amerika Serikat. Turki mendukung Azerbaijan secara politik dan militer, sementara Iran waspada terhadap perubahan peta kekuasaan yang bisa memengaruhi perbatasannya.
Keterlibatan berbagai kekuatan ini dapat memperumit pelaksanaan perjanjian. Jika koordinasi antarnegara gagal, kawasan ini bisa kembali menjadi ajang perebutan pengaruh.
Amerika Serikat harus menyeimbangkan pendekatannya: cukup kuat untuk menjaga stabilitas, tapi tidak terlalu dominan agar tidak menimbulkan reaksi keras dari kekuatan regional lainnya.
Aspek Kemanusiaan dan Rekonstruksi
Ribuan pengungsi dari kedua belah pihak masih tinggal di kamp-kamp sementara Armenia. Banyak kota dan desa hancur akibat perang. Untuk memastikan perdamaian yang berkelanjutan, dibutuhkan upaya besar dalam rekonstruksi, reintegrasi, dan jaminan hak asasi manusia.
Bantuan kemanusiaan menjadi prioritas utama. Pemerintah Armenia dan Azerbaijan diharapkan bekerja sama dalam membangun kembali rumah warga, sekolah, rumah sakit, dan fasilitas umum lainnya. Selain itu, penting adanya jaminan keamanan bagi warga Armenia yang masih tinggal di wilayah Azerbaijan.
Tanpa perhatian serius pada aspek kemanusiaan, perdamaian yang telah diperoleh bisa kehilangan maknanya di mata rakyat.
Dampak Global dan Geopolitik Internasional
Pergeseran Keseimbangan di Kaukasus Selatan
Perjanjian Washington 2025 menunjukkan pergeseran besar dalam keseimbangan kekuatan di kawasan. Amerika Serikat kini memiliki pijakan diplomatik baru di wilayah yang selama ini dianggap sebagai “halaman belakang” Rusia.
Selain itu, Turki diuntungkan karena jalur perdagangan yang baru dapat memperkuat konektivitas antara Asia Tengah dan Eropa melalui Azerbaijan. Di sisi lain, Rusia menghadapi tantangan baru karena kehadirannya di kawasan semakin berkurang, terutama setelah pasukannya menarik diri dari sebagian besar wilayah Nagorno-Karabakh.
Dengan kata lain, perjanjian ini bukan hanya soal Armenia dan Azerbaijan, melainkan tentang peta kekuasaan baru di Eurasia.
Efek Terhadap Hubungan Internasional
Keberhasilan perjanjian ini memberi sinyal bahwa pendekatan diplomasi multilateral kembali relevan. Negara-negara seperti Prancis, Jerman, dan Uni Eropa menyatakan dukungan terhadap kesepakatan ini, karena stabilitas Kaukasus berarti keamanan energi bagi Eropa.
Sementara itu, Cina memandang perkembangan ini sebagai peluang untuk memperluas inisiatif Jalur Sutra melalui rute Kaukasus, sekaligus menantang dominasi logistik Barat. Dengan terbukanya jalur perdagangan baru, kawasan ini bisa menjadi koridor penting dalam ekonomi global.
Namun, semua peluang tersebut tergantung pada stabilitas politik jangka panjang. Jika perjanjian gagal diterapkan, seluruh potensi ekonomi dan diplomatik bisa runtuh dalam hitungan bulan.
Pelajaran Bagi Dunia
Ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa ini.
Pertama, konflik yang berakar etnis dan sejarah panjang hanya bisa diselesaikan melalui kombinasi diplomasi dan pendekatan kemanusiaan. Kedua, peran negara penengah yang netral dan dipercaya sangat penting dalam menciptakan kepercayaan di antara pihak yang berkonflik. Ketiga, perdamaian tidak akan bertahan lama tanpa pembangunan ekonomi dan rekonsiliasi sosial.
Perjanjian Washington 2025 menjadi contoh nyata bahwa diplomasi masih memiliki kekuatan untuk menahan laju kekerasan di era global yang penuh ketegangan.
Kesimpulan
Perjanjian perdamaian antara Armenia dan Azerbaijan yang dimediasi oleh Amerika Serikat pada tahun 2025 menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah politik internasional tahun ini. Setelah lebih dari empat dekade konflik, kedua negara akhirnya mencapai titik temu yang membuka peluang bagi stabilitas kawasan.
Namun, perdamaian sejati tidak akan tercapai hanya dengan tanda tangan di atas kertas. Dibutuhkan kerja keras dalam membangun kepercayaan, memulihkan ekonomi, dan memastikan hak semua warga terlindungi. Dunia akan terus memantau apakah kedua negara ini mampu menjadikan kesepakatan tersebut sebagai awal baru, bukan sekadar jeda sebelum konflik berikutnya.
Jika berhasil dijalankan, perjanjian ini bisa menjadi contoh bagi banyak negara lain yang masih terperangkap dalam konflik berkepanjangan: bahwa diplomasi, ketika dijalankan dengan ketulusan dan keberanian, tetap menjadi jalan terbaik menuju perdamaian yang abadi.
